Ternyata Industri Rambut Palsu Indonesia Terbesar Kedua di Dunia
Awal tahun 2000-an, di mana pun kita pergi, pasti akan melihat orang-orang yang menggunakan hair extension. Mungkin Anda juga pernah mencoba menggunakan hair extension?
Namun, tren ini semakin lama semakin dilupakan oleh masyarakat Indonesia. Padahal, Indonesia merupakan negara eksportir rambut palsu terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.
Jumlah ekspor rambut palsu Indonesia pada tahun 2021 mencapai 11.761 ton dengan nilai sekitar 6,5 triliun rupiah, menurut Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Rambut palsu ini diekspor ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Korea Selatan, Republik Ceko, dan lebih dari 40 negara lainnya.
Namun, mengapa tingkat produksi rambut palsu yang tinggi di Indonesia tidak sebanding dengan tingkat penggunaannya di dalam negeri? Sejarah industri rambut palsu di Indonesia dimulai pada tahun 1950-an di Purbalingga.
Awalnya, industri ini dimulai oleh satu orang yang mengumpulkan sisa potongan rambut untuk membuat sanggul. Seiring berjalannya waktu, produk ini menjadi populer di kalangan pengantin yang menggunakan sanggul, hingga akhirnya menjadi industri yang banyak diekspor seperti sekarang ini. Indonesia.go.id mencatat bahwa komoditas ini berhasil menarik minat investor asing.
Pada tahun 2019, terdapat 29 investasi asing di Purbalingga, sebagian besar berasal dari Korea Selatan.
Meskipun demikian, puluhan industri rumahan juga tetap beroperasi tanpa adanya investasi asing ini, dan menyerap sekitar 55 ribu tenaga kerja.
Tidak ada data atau analisis yang memadai di internet yang dapat menjelaskan mengapa penggunaan rambut palsu mulai menurun pada awal tahun 2000-an. Namun, rambut palsu masih banyak digunakan di dunia hiburan, seperti oleh penyanyi, aktor, aktris, dan entertainer dalam bentuk-bentuk lainnya.
Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Muslim, mungkin ada kaitannya dengan ajaran agama yang tidak menganjurkan penggunaan rambut palsu. Selain itu, cuaca panas di Indonesia juga membuat orang enggan menggunakan rambut palsu karena tidak nyaman.
Menurut saya, perbedaan pandangan tentang konsep feminin juga memainkan peran penting dalam menurunnya minat pasar Indonesia terhadap rambut palsu. Dulu, kepemilikan rambut panjang erat dikaitkan dengan konsep feminin. Namun, saat ini kita lebih bebas berekspresi dalam keseharian, termasuk dalam hal warna dan potongan rambut.
Berdasarkan pengamatan saya di sekitar Jakarta, saya melihat banyak variasi gaya rambut yang diapresiasi oleh pemiliknya, baik itu rambut alami maupun rambut yang diwarnai, dipotong pendek, atau gaya rambut lainnya.
Oleh karena itu, menurunnya minat pasar Indonesia terhadap rambut palsu bukanlah tanda kemunduran. Industri ini juga seringkali memiliki reputasi buruk, terutama dalam penggunaan rambut asli manusia. Ada orang-orang yang terpaksa menjual rambut panjang mereka untuk memperbaiki kondisi hidup mereka, dan ada juga yang menjadi korban kejahatan karena rambut panjang mereka menjadi incaran.
Saya merasa senang melihat bagaimana perempuan sekarang tidak lagi terkekang oleh standar-standar kecantikan yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan mereka. Misalnya, kewajiban memiliki rambut panjang dan lurus. Namun, saya berharap bahwa proses produksi rambut palsu ini tetap dilakukan dengan etika dan memberikan manfaat bagi pembeli dan pengguna di seluruh dunia.
Dalam kesimpulannya, pasar Indonesia yang kurang berminat terhadap rambut palsu menunjukkan perkembangan dalam hal standar kecantikan. Meskipun tingkat produksi rambut palsu di Indonesia tinggi, penggunaannya di dalam negeri menurun. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor agama, cuaca panas, perubahan pandangan tentang konsep feminin, serta reputasi buruk industri rambut palsu.
Meskipun demikian, industri ini tetap memberikan kontribusi dalam menciptakan lapangan kerja dan mendukung perekonomian nasional. Penting untuk menjaga proses produksi rambut palsu tetap dilakukan dengan etika dan memberikan manfaat bagi pengguna di seluruh dunia.